Polewali, 15 Juni 2011-06-15
Rumah Sederhana di Jalan Ahmad Yani 110, Polewali, Sulawesi Barat
Waktu menunjukkan 01.15 WITA, mata ini tetap saja tak dapat terpejam untuk beristirahat layaknya seperti orang-orang lainnya. Namun, aku sangat mengetahui apa penyebabnya, pikiranku melayang-layang entah kemana memikirkan segala beban yang ada dalam pikiranku saat itu.
Untung saja malam itu sebuah tayangan film hollywood yang sedikit menghiburku di salah satu stasiun televisi swasta. Tetap saja aku tidak bisa melupakan begitu saja beban yang ada dalam pikiranku hingga saat ini.
Siang sebelumnya, salah satu saudariku menghubungiku, dengan tergesa-gesa dia menjelaskan apa yang telah terjadi dirumah. Aku hanya bisa terdiam mendengarnya, membiarkan handphoneku begitu saja disampingku dan tidak menghiraukan saudariku lagi.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa, entah aku harus tetap berada disini ataukah aku harus beranjak dari tempat ini dan kembali kerumahku. Kuraih handphoneku kembali dan kuhubungi saudariku lagi dan menanyakan lebih lanjut kondisi rumah saat itu. Ternyata semuanya makin parah saja, kebimbangan kini bersarang dalam otakku, memikirkan segera apa yang harus aku lakukan.
Wake up diah! Tetapi kata-kata itu tetap tidak mampu membangkitkanku! Oh my God, apa yang harus aku lakukan? Aku berharap ini semua akan baik-baik saja! Handphoneku kembali berdering, ternyata dari salah satu saudariku lagi, “Kak cepat pulang!”. Aku tidak tahu harus menjawab apa, aku tidak bisa meninggalkan tempat ini dan akupun tidak bisa mengabaikan apa yang terjadi dirumahku waktu itu.
Selang beberapa waktu, lagi-lagi handphoneku berdering, ternyata dari Mama, “semuanya sudah hancur nak, mama tidak tahu harus bagaimana lagi, semua terserah dia”. Aku tidak bisa berkata-kata, hanya air mata yang menetes satu-persatu menjawab perkataan Mama barusan. Setelah itu tidak ada lagi komunikasi antara saudari-saudariku terlebih dengan Mamaku.
Beberapa kali aku mencoba menghubungi mereka, tetapi tidak ada tanggapan satupun dari mereka. Ya Allah, semoga semuanya baik-baik saja.
Tibalah malam, kedua handphone ku tidak memberikan tanda-tanda telepon ataupun pesan singkat ada yang masuk. Ku coba lagi menghubungi mereka, tetapi dengan sengaja aku tidak menyinggung masalah tadi siang.
“Mama kangen nak sama Diah”, “Diah juga kangen Mam”. Saling mengirimkan pesan via sms terus berlanjut, tetap sedikit pun aku tidak pernah menyinggung masalah tadi siang, untuk menjaga perasaan Mama. Berikutnya, Mama tidak membalas lagi pesanku, yah mungkin dia sudah tertidur.
Waktu menunjukkan pukul 23.10, kuraih handpone yang tergeletak rapih diatas bufet. Ku buka salah satu aplikasi internet. Tidak lama kemudian, handphoneku yang satu lagi berdering, sebuah sms dari kekasihku, memberitahukan Mama baru saja update status disalah satu jejaring sosial. Segera mungkin ku melihatnya.
Satu persatu tetesan air mata jatuh membasahi pipi ini.
”. Aku hanya bisa menjawab dari sini, “aku juga sangat merindukanmu Mam, I love you so much”.
Kembali lagi pada tontonanku, dengan serius aku menikmati film hollywood yang terpampang lebar dihadapanku. Waktu menunjukkan 03.40 subuh, akhirnya film hollywood yang sedari tadi ku tonton telah selesai, waktunya memejamkan mata dan beristirahat sejenak menunggu datangnya waktu pagi.
Satu jam dua puluh menit lima belas detik berlalu, mata tetap saja tidak dapat tertutup, kembali memikirkan masalah yang terus bersarang dalam pikiranku. Sedikitku berkhayal yang semoga saja tidak aan pernah terjadi. Dalam khayalku, apa yang selanjutnya yang akan aku lakukan, aku tidak ingin bergantung dengan orang, aku tidak ingin dikasihani, aku sangat tak suka itu, tetapi aku tidak mempunyai kekuatan, aku tidak mampu menghadapinya, kalau dia benar-benar pergi? bagaimana kehidupanku selanjutnya, bagaimana dengan mamaku, bagaimana dengan adik-adikku, bagaimana dengan pendidikanku, bagaimana dengan pendidikan adikku? Bagaimana ini? Ya Tuhan, aku tidak tahu harus berbuat apa.
04.45, kuambil kedua handphoneku, beranjak kegarasi dan mengambil sepeda pamanku. Tampak diluar masih gelap, tetapi aku tidak menghiraukannya, tetap kukayuh sepeda itu meski udara sedikit dingin yang kini menusuk ke dadaku hingga terasa pada tulang-tulang rusukku. Aku tidak menghiraukannya, ini tidak sebanding dengan apa yang sekarang bersarang dalam pikiranku.
Seiring perputaran bumi, matahari kembali menampakkan sinar dari tempat peristirahatannya, perjalanan aku lanjutkan ke Pantai Bahari, Polewali.
Kuangkat sepedaku dan ku dorong hingga keujung dermaga, menyandarkannya dan ku duduk disebelah sepedaku.
Suara ombak, kicauan burung-burung kecil, ikan-ikan yang berenang, pancaran sinar matahari setia menemaniku dengan mendengarkan segala curhatanku. Andaikan aku seperti ombak, yang mampu menghantam apapun dihadapannya, aku seperti burung yang bisa terbang bebas dan menentukan arah akan kemana dia tuju, aku seperti ikan-ikan yang berenang dengan kelompoknya dan seperti matahri yang memberikan sinar kehidupan pada siapa saja.
Tetapi aku tidak bisa seperti mereka, masalah yang bersarang dipikiranku menghambat semuanya, aku hanya bisa teriak sekeras-kerasnya biar mereka bisa tahu apa yang aku rasakan. Tetapi percuma, mereka tidak akan mungkin memberikan jawaban.
Hari mulai siang, aku kembali kerumah dengan masalah yang bersarang dalam pikiranku.